6.17.2008

ARIF BUDIMAN

Nasionalis Sentimentil Rindu Salatiga

Doktor sosiologi yang terlahir dengan nama Soe Hok Djin ini meninggalkan status sebagai dosen di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Salatiga, Jawa Tengah, pasca kerusuhan Mei 1998. Kemudian bersama istri Leila Ch. Budiman bermukim dan mengajar di Universitas Melbourne, Australia. Dia agaknya belum mau menghentikan sedikitpun suara kritisnya. Sejak masih muda lelaki keturunan Tionghoa ini sudah berani mengkritik kebijakan Presiden Soekarno, bahkan turut turun ke jalanan berdemonstrasi bersama mahasiswa menumbangkan orde lama.

Dia adalah kakak kandung Soe Hok Gie, yang meninggal dunia sebagai tokoh pergerakan mahasiswa. Kendati turut menumbangkan orde lama, namun justru di masa Soeharto sepak terjang dan sikap kritisnya semakin menjadi-jadi, terlebih setelah berstatus dosen Program Studi Pembangunan di UKSW, Salatiga. Pemerintahan yang diwariskan kepada B. J. Habibie yang ia sebut tak lebih dari perpanjangan orde baru, pun tak luput dari kritikannya. Bahkan hingga pemerintahan ‘jatuh’ ke tangan koleganya Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, suara kritisnya tetap nyaring terdengar. Media massa pada suatu masa pernah ramai memuat kritiknya kepada Gus Dur, menjelang di ujung tanduk kekuasaan. Arief ketika itu menyarankan sebagai upaya untuk bisa bertahan Gus Dur jangan lebih banyak membuat musuh melainkan harus berkoalisi.

Akhirnya dia merelakan diri dihujani kritik bahkan makian tatkala kritik pedas terbarunya disampaikan tentang kepemimpinan Presiden Megawati Soekarno Putri dan PDI Perjuangan yang dianggapnya sebagai partai yang rusak dan kacau. Banyak simpatisan partai berlambang kepala banteng bulat dalam lingkaran putih itu menyebutkan pakar sosiologi lulusan Harvard University itu sebagai tidak nasionalis karena banyak bicara di luar dan mengkritik namun memilih bermukim di luar negeri.

Dia lalu menjelaskan makna dan pengertian nasionalisme sesungguhnya yang menurutnya dalam praktik sangat rentan terhadap manipulasi. Jadi, tentang nasionalisme harus dilihat siapa yang menggunakan dan untuk kepentingan apa. Dia mencontohkan, saat perang Vietnam berkecamuk pemerintah Amerika Serkat meminta seluruh pemuda, baik kulit putih maupun hitam untuk turut berjuang atas nama nasionalisme dengan cara menjadi tentara dan bertempur. Ketika perang usai dan tiba giliran harus berbagi rezeki, pemuda kulit hitam diminta untuk tetap bersaing. Jelas mereka marah dan bertanya dimana letak nasionalismenya. Jadi, kesimpulan Arief, nasionalisme adalah sesuatu yang fleksibel, kadang-kadang dipakai untuk diri sendiri tetapi bisa juga dipakai untuk kepentingan bangsa seluruhnya. Menganalisis nasionalisme harus dilihat pada situasi, tempat, waktu, serta siapa yang menggunakan.

Namun secara teoretis, kata Arief, nasionalisme adalah persatuan secara kelompok dari suatu bangsa yang mempunyai sejarah yang sama, bahasa yang sama, dan pengalaman bersama. Tetapi definisi seperti itu jarang terjadi. Yang biasa terjadi adalah pemakaian pengertian nasionalisme secara spesifik sehingga rentan terhadap manipulasi. Karena nasionalisme terkadang dipakai untuk bermacam-macam hal, maka pengertiannya harus pula dilihat kasus per kasus.

Mengatasnamakan nasionalisme untuk dikaitkan dengan amandemen dan penolakannya oleh sejumlah kalangan, misalnya, menurut Arief bisa relevan tetapi bisa juga tidak. Disebutkan, diartikan seakan-akan nasionalisme adalah negara kesatuan tetapi dalam negara kesatuan itu terdapat eksploitasi. Oleh mereka yang memperjuangkan nasionalisme kemudian berpendapat, “justru mungkin Republik Indonesia akan lebih dipersatukan bila menjadi negara serikat atau federal state.”

Dicontohkan Arif, negara Australia tempatnya bermukim sekarang kuat sekali nasionalismenya sebab di tiap negara bagian mempunyai pemerintahan masing-masing seperti juga di Amerika Serikat. Jadi, menurutnya, sama sekali tidak benar jika Republik Indonesia dipertahankan hanya kalau berbentuk negara kesatuan. Karena masalah sebenarnya adalah kepentingan, apakah kepentingan dari banyak orang terpelihara atau tidak. Dalam banyak kasus ternyata kepentingan lebih banyak orang akan semakin terpelihara jika negara berbentuk federal di mana kesatuan yang berpusat di Jakarta tidak diperlukan lagi. Terlebih mengingat Indonesia sebagai negara besar yang berpenduduk banyak akan bisa jauh lebih bertahan bila menjadi negara serikat. Negara bagian Sumatera yang lebih kaya menyumbang ke Jawa yang miskin melalui pajak bisa saja terjadi pada suatu saat dalam konteks negara federasi dan justru itulah sebuah nasionalisme yang benar. Subsidi diatur melalui koordinasi yang disebut pemerintah federal menunjukkan nasionalisme yang lebih murni.

Penyederhanaan nasionalisme menjadi sebentuk negara kesatuan adalah bermotif keinginan Jakarta mempertahankan hegemoni terhadap daerah. Lalu, mereka yang seakan-akan mau bebas dan tidak mau tunduk kepada Jakarta dianggap melawan nasionalisme. Padahal itu hanyalah pengatasnamaan seakan-akan Jakarta adalah seluruh Republik Indonesia dan dimaksudkan untuk mendapatkan untung bagi sebagian elit di Jakarta.

Amandemen Undang-undang Dasar 1945 dalam kacamata Arief Budiman umumnya adalah memperbaiki yang lama. Seperti pemilihan presiden langsung suatu hal yang baik. Masalahnya presiden hanya bisa dicalonkan oleh partai sehingga beresiko menimbulkan oligarki. Harusnya ada juga peluang untuk pencalonan presiden, gubernur, dan bupati secara independen. Adalah kemajuan bahwa presiden dipilih oleh rakyat secara langsung tetapi buntutnya masih dipegang oleh orang-orang yang punya vested interest dalam partai.

Kemajuan lain amandemen adalah dihapuskannya wakil militer di parlemen sejak tahun 2004. Militer yang seharusnya profesional itu jika ingin berpolitik maka berpolitiklah secara pribadi. Piagam Jakarta, begitu juga pasal 29 UUD 1945 tentang agama dalam pengertian yang sesungguhnya adalah tidak terjadi kemunduran karena yang dipertahankan adalah yang lama. Arief menyimpulkan secara keseluruhan terjadi progresi dalam amandemen sehingga bisa memberikan tambahan optimisme.

Dia menyebutkan pada dasarnya konstitusi harus selalu diperbaharui dan yang berhak menentukan perubahan itu harus rakyat sendiri. Misalnya melalui semacam referendum khusus untuk hal-hal yang kontroversial. Konstitusi merupakan sesuatu yang dinamis dan mencerminkan kepentingan rakyat pada kurun waktu tertentu. Kepentingan bisa berubah karena waktu dan tempat juga berubah demikian pula lingkungan ikut berubah.

UUD 45 yang dibuat oleh para pendiri bangsa belum tentu cocok untuk keadaan selanjutnya. UUD 45 dibuat masih dalam keadaan kacau dan darurat sehingga sangat dibutuhkan pemerintahan yang kuat. Demikian pula soal hal asasi manusia belum dimasukkan karena sesungguhnya deklarasi HAM baru keluar tahun 1948 sehingga baru masuk dalam Undang-Undang Dasar Sementara 1950 yang sudah tidak digunakan.

Menanggapi pendapat arus kuat antiamandemen yang berasal dari PDI Perjuangan, terutama para senior dari eks-PNI, Arief Budiman mencontohkan kelompok Taufik Kiemas termasuk yang menolak amandemen. Demikian pula Megawati Soekarnoputri awalnya menolak pemilihan presiden langsung namun akhirnya bisa menerima. Sehingga jika Megawati dicalonkan lagi pada Pemilu 2004, di tengah-tengah kemunculan calon independen, Arief memastikan kalaupun Mega menang lagi suara yang diperoleh pasti akan berkurang. Sebabnya kata Arief karena kinerja Mega sama sekali tidak meyakinkan apalagi setelah menggusur orang-orang miskin pendukung fanatik PDI-P di Jakarta dan Surabaya. PDI-P hanya melayani kepentingan sektarian dan sangat partisan. Sebagian dari para senior PDI-P adalah orang-orang intelek yang matang dan sudah tidak akan terpengaruh pada kepentingan sektarian dan partisan. Yang para seniorr pikirkan sudah lebih banyak tentang bagaimana mengharumkan nama dalam sejarah dengan lebih mempunyai komitmen pada bangsa melebihi kepentingan pribadi dan kelompok.

Sikap Megawati yang antiotonomi daerah dan dimotori oleh Hari Sabarno, dilihat oleh Arief sebagai penunjuk kapasitas intelektual yang terbatas. Dasarnya adalah dianggapnya otonomi daerah memperkecil volume dan kualitas negara kesatuan. Mega hanya mewariskan bahwa negara Indonesia itu Bung Karno dan negara kesatuan tanpa bisa diterjemahkan secara sophisticated. Bagi Mega hanya ada negara kesatuan, tidak boleh ada otonomi daerah apalagi negara federal. Sehingga jika mendengar federal, ia menganggap khianat. Sikap Mega ini dilihat Arief sesuai dengan kepentingan TNI yang sudah banyak berkorban berupa prajurit yang tewas untuk mempertahankan negara kesatuan. Arief menilai penolakan terhadap negara federal dahulu terjadi pada zaman Republik Indonesia Serikat (RIS) sebab ide federal dipakai oleh Belanda hanya sebagai alat pemecah-belah. Berbeda dengan sekarang jika dibuat oleh bangsa sendiri karena Belanda-nya saja sudah tidak ada lagi. Tentang federal, menurut Arief, antara Megawati dengan militer setara, punya mitos-mitos yang tidak bisa ditawar tanpa penjelasan yang baik.

Arief Budiman berpendapat bahwa rumusan umum nasionalisme adalah tatkala semua pihak mengutamakan kepentingan bangsa di atas segalanya. Dalam definisi demikian apapun bisa masuk, semisal, jika negara kesatuan adalah sesuatu yang penting untuk mengembangkan bangsa, maka itu adalah nasionalisme. Demikian pula jika ada orang yang mengatakan bahwa negara federal akan lebih baik bagi kepentingan meningkatkan kesejahteraan semua sebagai bangsa maka itu juga nasionalisme. Seandainya harus berperang pun dengan Australia jika itu berguna untuk memperbaiki bangsa, maka itu nasionalisme juga. Tetapi jika semuanya tidak berguna, maka menjadi tidak nasionalis. Nasionalisme adalah tujuan yang bisa dicapai dengan bermacam cara termasuk dalam hal amandemen konstitusi, apakah perubahan itu baik bagi bangsa ini atau tidak.

Posisi nasionalisme dalam kasus pengusiran TKI dari negeri Malaysia, misalnya, menurut Arief Budiman kasusnya lebih banyak disebabkan karena kesalahan diplomasi serta kesemrawutan Departemen Luar Negeri dan pemerintah Indonesia mengurus warganya di luar negeri. Tanpa kata nasionalisme pun adalah kewajiban membela warga negara yang pergi sebagai orang miskin sebab tidak bisa hidup di negeri sendiri. Mestinya yang dipersoalkan kenapa orang-orang TKI itu cari makan di luar negeri yang lalu secara menyakitkan diusir oleh negara yang juga sama-sama mengalami kesulitan oleh kedatangan TKI itu? Kenapa TKI itu tidak bisa diberikan pekerjaan?

TKI memang menjengkelkan sebab mereka datang berbondong-bondong, lalu diusir, tetapi masih balik lagi, dan begitu seterusnya, berulang-ulang, yang membuat Malaysia akhirnya marah juga. Jika Indonesia lebih kaya dari Malaysia dan menghadapi hal serupa, Arief berpendapat pasti sama saja reaksinya, yakni menimbulkan kemarahan terhadap Malaysia dan ingin menghajar mereka. Masalahnya adalah berilah pekerjaan kepada para TKI itu sebab mereka sesungguhnya tidak ingin ke sana kalau di Indonesia ada pekerjaan. Bahkan ketika di sana mereka masih bercita-cita untuk mudik lagi ke Indonesia jika sudah berhasil mengumpulkan uang, mereka akan mau menolong saudaranya misalnya dengan mengirim uang lalu mereka balik lagi ke sana. Terutama orang Jawa yang menganggap tempat kelahiran adalah tetap sebagai kampungnya. Perasaan-perasaan sentimentil seperti itu sesungguhnya adalah nasionalisme juga. Jadi, nasionalisme justru ada pada para TKI itu.

Seiring dengan itu, sebagai orang Salatiga, Arief Budiman ikut pula merasakan sentimentil sejenis milik para TKI yang ingin pulang ke kampung halaman sebab merasa sudah capek berbicara bahasa Inggris terus-menerus, bahkan hingga bermimpi pun memakai bahasa Inggris. Bagi dia Salatiga adalah tetap sebagai tanah air. Meskipun dia merasa bukan patriot, bahkan jika harus merasa bukan Indonesia sekalipun, bagi dia bukan masalah. Yang penting Salatiga adalah tetap sebagai tanah air.

Dia tetap ingin pulang ke Indonesia. Selain karena teman-temannya ada di Indonesia, kalau ngomong berbahasa Indonesia dia merasa lebih puas, termasuk kalau ngomong lelucon atau ngomong jorok lebih plong rasanya sebab emosi keluar semua. Semua itu telah membuatnya selalu rindu terhadap Indonesia walau ia anggap itu bukanlah sebagai patriotisme atau nasionalisme. Tetapi karena dilahirkan di Indonesia, kecil di Indonesia, teman-temannya di Indonesia termasuk bahasa yang ia pakai ketika pertama kali menyatakan emosi adalah bahasa Indonesia, memberinya alasan untuk rindu Indonesia. Karenanya, pada hari tua Arief Budiman akan lebih senang berada di Indonesia. Dia mempersilakan kalau sikapnya itu bisa disebut sebagai nasionalisme.

Dalam pandangan berbeda, jika saja Arief adalah warga negara Indonesia yang lahir di Indonesia namun besar di Australia atau Arab kemudian akhirnya lebih fasih ngomong bahasa Arab, maka kemungkinan besar nasionalisme dia akan lebih ke Arab. Kenyataan demikian bagi dia bukanlah mitos tetapi merupakan sebuah pengalaman yang konkrit dari sejarah kehidupan setiap orang.

Perubahan-perubahan yang terjadi di Indonesia dilihat oleh Arief Budiman sebagai sebuah pergerakan sejarah yang tetap memberi harapan. Arief pernah mengalami hidup di zaman Soekarno, demikian pula zaman Soeharto, termasuk masa reformasi. Jika pada zaman Soeharto saja dia masih punya harapan, maka harapan itu menjadi lebih setelah sekarang Soeharto jatuh. Progresi yang terjadi ia lihat banyak sekali sehingga memberi harapan yang lebih besar daripada di masa Soeharto. Progresi yang terjadi itu misalnya pers yang bebas serta demokrasi yang mulai ada meskipun masih kacau. Sekarang segala sesuatunya menjadi lebih mungkin untuk terjadi hanya saja bangsa ini masih berada di tengah-tengah masalah yang masih segudang.

Nama: Arief Budiman

Istri:Leila Ch. Budiman
Pendidikan:Menyelesaikan pendidikan gelar doktor Ph.D di bidang sosiologi di Harvard University, Amerika Serikat
Pekerjaan:
1. Mantan dosen di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga, Jawa Tengah
2. Dosen di Merbourne University, Melbourne, Australia

(sumber: ensiklopedia tokoh indonesia)

Label: