11.21.2008

CERPEN 1

FIKRI

Oleh Muhammad Ikhsan

Malam. Ya. Bahkan sudah terlalu larut untuk tetap terjaga. Untuk yang kesekian kali aku terpaksa harus menunggu Fikri pulang. Aku tidak tahu kemana dia.aku melirik jam tangan. Pukul dua dinihari. Seperti biasa aku tidur-tiduran di atas karpet yang sudah lusuh, yang hampir tidak pernah dicuci, entah sudah berapa lama dan baunya sudah sangat apak. Entah sudah berapa kali aku memutar lagu-lagu metal dari kelompok-kelompok musik kegemaranku: Metallica, Greenday, Prodigy, Sepultura, semuanya dilahap telingaku seperti kacang goreng saja. Tapi tanganku tidak pernah merasa bosan untuk menukar kaset demi kaset setelah semua lagu habis.

Dan tidak seperti hari-hari sebelumnya, ketika aku sepertinya harus menjadi seorang satpam, sambil menunggu Fikri dan berharap ia melongoskan kepalanya di depan pintu kamar, kali ini pikiranku menerawang ke masa lalu, masa ketika pertama kali mengenal seorang lelaki bernama Fikri. Ketika itu, saat pertama kali sampai di kota Padang ini untuk mencari pekerjaan, aku berkenalan dengannya di sebuah took, pada suatu sore. Ketika sedang membeli keperluan untuk mengganjal perutku yang belum berisi nasi sebutirpun dari pagi. Aku belum memikirkan dimana aku akan tinggal walaupun untuk sementara waktu. Tanpa sengaja ketika sampai di kassa, bahuku menyentuh pundak seorang laki-laki yang sebantaran denganku. Ia menoleh. Kami saling tersenyum. Lalu setelah kami sama-sama di luar took, ia menghampiriku. Jangan-jangan ia akan melakukan perhitungan denganku, hatiku membatin. Ternyata tidak. Ia mengulurkan tangan, ingin berkenalan.

“Fikri,” ujarnya sambil mengulurkan tangan dan tetap tersenyum. Dengan ragu-ragu kusambut dingin jabat tangannya.
“Ahmad. Roni Ahmad.”

Setelah berbicara beberapa saat, baru kusadari ternyata kami punya tujuan yang sama datang ke kota ini, mencari kerja. Lalu kuceritakan bagaimana sebelum bertemu dengannya, saat baru datang di kota ini, aku masih bingung karena belum punya tempat tinggal. Tanpa ragu-ragu, tiba-tiba saja ia menawarkan untuk tinggal di tempatnya. Plong! Seperti panas setahun diguyur hujan sehari, hatiku lega mendengar jawabannya. Dan ketika itu juga kami langsung berangkat.
Dan begitulah. Hari demi hari kami lewati bersama. Memang kami satu kamar di rumah kontrakan yang cukup sederhana. Tapi menjaleng malam tiba, setelah kesibukan kami masing-masing, di saat itulah kami bisa berkomunikasi, saling cerita bersama teman-teman lain yang sebelumnya sudah dikenalkannya padaku: Namkun, Dupan, Ludba, Atno, dan Kinam (nama-nama yang agak aneh kedengarannya, bahkan bagiku sendiri). Setelah sekian lama saling kenal, ternyata aku baru menyadari kalau Fikri adalah seorang anak yang pemahaman agamanya cukup kuat. Ia sering bercerita tentang sejarah Islam dengan tokoh-tokohnya yang berjaya di zamannya. Sebagai pendengar yang baik kami hanya mangut-mangut saja mendengar ceramahnya. Setiap menjelang tidur, aku selalu mendengar Fikri melantunkan ayat-ayat suci Al-quran. Dan sampai-sampai aku begitu menikmatinya. Bahkan mulai terbiasa. Maklum, aku hanya seorang parewa di kampong dan mulai membiasakan diri dengan bacaan-bacaan kiri seperti biografi Tan Malaka, Revolusi Che Guevara, Pemikiran Karl Marx, dan segudang ‘buku merah’ lainnya, yang sekarang sedang diincar-incar untuk dihanguskan karena ada ancaman sweeping. Namun tidak demikian halnya dengan teman-teman lain ketika aku menceritakan kepada mereka tentang kebiasaan Fikri tersebut. Mereka hanya tertawa, bahkan terkesan sedikit mengejek.

“Mungkin kau baru kenal dia, Ahmad. Bagi kami, hal itu sudah jadi makanan pokok menjelang tidur. Mengaji baginya sama wajibnya dengan kegiatan kami begadang.” ujar Namkun yang sedang asyik membaca buku Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan.
“Makanya, di sini kami biasa memanggilnya dengan sebutan pak ustad,” Kinam menimpali sambil menjalankan bidak caturnya. “Skak mat!” Atno hanya bisa melongo melihat rajanya terjepit karena serbuan perwira Kinam.

Begitulah. Makin lama aku makin mengenal siapa Fikri, laki-laki yang telah menyelamatkan aku ketika sampai di kota Padang ini. Hingga aku mengambil kesimpulan bahwa Fikri adalah anak yang saleh, rajin salat, pandai mengaji, berbakti pada orang tuanya seperti yang pernah diceritakannya padaku, dan orang memberi tahuku bahwa ternyata Tuhan itu ada, tidak mati seperti apa yang dikatakan banyak orang dan juga akhirnya menjadi pegangan bagi diriku, atas interpretasi mereka terhadap perkataan Nietzsche dalam bukunya yang kubaca: Got is Tot, Tuhan telah mati!

Pada suatu malam, seperti biasa, aku begitu menikmati bacaan ayat-ayat suci yang didendangkan Fikri. Tiba-tiba saja terdengar pintu kamar diketuk dan suara batuk tertahan. Tanpa curiga aku langsung bangkit dari tempat tidur untuk membukakan pintu. Saat pintu terbuka, darahku terkesiap, mataku seperti hamper meloncat dari cangkangnya ketika melihat seorang perempuan cantik berdiri tepat di hadapanku dan ia tersenyum padaku. Dengan cermat kulihat perempuan itu dari rambut sampai ke kaki. Rambutnya yang sebahu dan kemerah-merahan mengingatkan aku pada jenggot kambingku di kampong yang bulunya hitam keemasan: hamper mirip.perempuan itu mengenakan baju kaos warna merah tanpa lengan dan transparan hingga nampak belahan dadanya yang cukup dalam. Dan celana ketat yang dipakainya memperlihatkan lekukan yang membuat imajinasiku bertingkah usil.

“Maaf dik, mau mencari siapa?”
Aku bertanya seserius mungkin dan mencoba sembunyikan kekagetanku walau sesekali mataku melirik ke belahan yang ada dalam kaosnya yang transparan itu.
“Sebelumnya saya juga minta maaf kalau telah mengganggu waktu istirahat uda berdua. Nama saya Lusita. Saya teman Bang Kinam. Saya disuruh datang ke sini untuk menemui uda Fikri.”
“Kalau begitu silakan, itu uda Fikri ada di dalam.”
“Terima kasih.”

Aku tidak sempat menanyakan keperluannya menemui Fikri. Apalagi malam-malam begini. Dan aku tahu apa yang akan terjadi pada Fikri kalau ia bicara dengan perempuan, apalagi dengan perempuan yang berpakaian seronok seperti Lusita.

Setelah masuk dan berdiri di hadapan Fikri, ia tidak langsung duduk tapi tetap berdiri. Sementara aku berdiri agak jauh di belakang perempuan itu sambil mataku tetap mengawasi kejadian apa selanjutnya yang akan terjadi. Tiba-tiba saja dan tanpa kuduga sama sekali sebelumnya, perempuan itu mempelorotkan bajunya. Begitu juga dengan apa yang dilakukannya sesaat kemudian terhadap, maaf, celananya, lalu berputar-putar di hadapan Fikri. Dan begitulah, aku hanya tertegun menatap sebuah pemandangan yang selama ini hanya kulihat lewat film-film porno sewaktu masih di kampung. Sebuah pemandangan, ibarat sebuah pohon anggrek yang daunnya meranggas di musim semi. Sekilas kulihat Fikri hanya menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tetap menatap lantai kamar sambil tangannya terus melingkarkan tasbih di jari-jarinya. Dan perempuan itu masih asyik dengan berbagai gaya yang dipertontonkannya di hadapan Fikri. Mataku seakan tidak pernah berhenti berkedip memandang semuanya, tanpa terlewatkan satu detik pun!

Setelah perempuan itu terlihat capek, lalu ia pun memakai pakaiannya kembali. Kemudian ia melangkah ke pintu. Tapi sebelum pergi, “Sekali lagi saya minta maaf. Saya berbuat begitu karena disuruh bang Kinam. Sebenarnya saya sudah berusaha untuk menolak tapi ia tetap saja memaksa. Akhirnya saya terpaksa menuruti kemauannya daripada saya celaka nanti. Dan tolong sampaikan maaf saya untuk uda Fikri. Terima kasih sebelumnya. Selamat malam.”
Aku terpaku. Tidak tahu apa yang harus kulakukan. Sementara mataku terus menatap kea rah pintu, tempat perempuan tadi datang, lalu menghilang. Tapi itu hanya sekejap. Setelah tidak terdengar apa-apa lagi aku menutup pintu dan menghampiri Fikri.

“Sudahlah, Fik. Sebaiknya kita tidur. Tidak usah dipikirkan. Kinam memang suka iseng. Kejadian malam ini sepertinya memang sudah keterlaluan. Tapi ya, mau apa lagi. Begitulah Kinam. Kau seperti tidak kenal dengannya saja.”

Sebelum tidur, dan bahkan benar-benar hamper tertidur, aku melihat Fikri duduk di bibir jendela, memandang langit, seolah ia bicara dengan Tuhan, mengadukan apa yang baru saja dialaminya. Entah masih sadar atau tidak, sayup-sayup kudengar sesenggukan. Fikri menangis.
Setelah kejadian malam itu, kehidupan di rumah ini berjalan seperti biasanya, tidak ada yang banyak berubah. Kinam, laki-laki urakan dan sedikit nyeleneh masih sering pulang pagi bahkan tidak pulang untuk beberapa hari. Dupan, yang setiap pulang mengamen menjelang azan magrib, sebelum pergi mandi ia genjrang genhreng dengan gitar bolongnya di depan rumah sambil menggoda para mahasiswi yang baru pulang dari kampus. Begitu juga dengan Namkun, seorang seniman kiri, yang setiap ia mandi, tidak peduli pagi atau sore, selalu membaca puisi. Dan Atno, seorang filsuf muda (begitu biasa kami memanggilnya) masih setia dengan bacaan-bacaan filsafatnya: Sastre, Albert Camus, dan Iqbal. Sementara Ludba, seorang pecinta sejati, masih melakukan rutinitas kesehariannya, pulang kencan selalu kalau hari sudah malam. Sepertinya ia akan berbini dengan pacarnya itu.

Fikri juga tidak ada yang berubah. Selesai makan malam, salat Isya dan membersihkan kamar, lalu ia akan melantunkan ayat-ayat suci Alquran dengan irama yang indah dan membuatku terpesona. Dan aku? Apalah yang istimewa dariku yang harus kukatakan. Tidak ada. Setelah kesibukanku mencari pekerjaan setiap detik, menit, bahkan berjam-jam dan beratus-ratus kilometer aspal sudah kujelajahi, aku pulang untuk istirahat, kemudian begitu juga dengan hari-hari berikutnya. Begitulah. Berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan, setelah kejadian yang dialami Fikri, tidak banyak yang berubah.

Namun beberapa hari belakangan, raut muka Fikri yang biasanya religius, ramah, murah senyum, dan sedikit bicara itu mulai berubah menjadi seorang yang sangat riang, gampang tersinggung, dan setiap kali ada kesempatan berkumpul bersama di rumah, dialah yang paling antusias bercerita tentang rutinitasnya. Seperti asap kereta api keluar dari cerobongnya, Fikri bercerita seakan-akan tidak bisa berhenti. Ia terus saja menyerocos. Kebiasannya mengaji setiap malam mulai jarang terdengar. Bahkan Fikri sudah mulai sering pulang malam. Entah dari mana. Tentu saja perubahan pada diri Fikri membuat kami semua heran, merasa aneh, bingung, dan menimbulkan beratus pertanyaan di benak kami masing-masing, terutama aku yang satu kamar dengannya, tidak pernah menyangka akan terjadi perubahan yang demikian cepat.
Apalagi aku juga tahu dengan latar belakang Fikri, jelas tidak masuk akal apa yang terjadi dengan Fikri sekarang. Setiap kali aku bertanya kenapa ia mulai sering pulang malam, dari mana, ia pasti akan menjawab,”biasa, rumah teman.” Atau “aku harus mampir dulu ke swalayan.” Tapi aku tidak terlalu pusing dengan jawabannya itu. Dan aku coba untuk tetap saja berpraduga tak bersalah pada Fikri. Semoga saja semua ucapannya itu adalah jawaban yang jujur.

Udara makin dingin. Mungkin subuh akan segera menjelang. Sesuara jengkrik yang berpacaran di atas rerumputan, entah di mana saja mereka bisa bercumbu rayu, berangsur-angsur mulai melemah. Sementara warung pangsit di pertigaan sudah tutup. Mungkin karena laris ia menutup cepat warungnya. Kulihat jam, sudah pukul empat pagi. Tapi Fikri belum juga pulang. Biasanya jam-jam begini aku sudah mendengar Fikri kasak-kusuk membersihkan kamar, dan tentu saja kemudian ia salat subuh. Tapi sekarang, ia bahkan belum pulang sama sekali. Aku tidak tahu kemana Fikri. Sebentar-sebentar aku melongok lewat jendela. Angin sedikit kencang bertiup. Sepertinya hujan akan segera turun.

Suara azan subuh membangunkanku dari tidur. Aku tertidur. Dengan gerak refleks, kulirik jam di tangan, pukul lima lewat lima menit. Sudah pagi. Dan sebentar lagi matahari akan segera menyongsong siang. Meski masih mengantuk dan sedikit pusing, kupaksakan juga bangun dan pergi ke kamar mandi. Tapi tiba-tiba aku hamper tersungkur, kakiku seperti menabrak sesuatu. Sambil mengusap mata yang masih sipit, kulihat seperti sesosok tubuh sedang tidur pulas. Sepertinya..ya..itu Fikri! Fikri sudah pulang! Tapi dari mana dia? Apa dia baru pulang dari rumah temannya hingga larut pagi sepeti sekarang? Atau ia habis belanja di swalayan? Tapi mana ada swalayan yang buka hingga pagi begini. Pertanyaan yang bodoh.

Kupandangi wajahnya lekat-lekat. Tiba-tiba saja perasaan iba muncul seketika. Menelusuri wajahnya, sepertinya aku tidak mengenal lagi siapa Fikri. Tidak lagi kutemukan wajah bersahaja dan ramah, senyum tulus. Yang kutemukan sekarang, guratan-guratan buram termakan kemajuan zaman, seburam potert negeri ini yang semakin kusam dari hari ke hari.

Perlahan, tanpa bermaksud mengganggu tidurnya, kutanggalkan bajunya yang telah basah oleh keringat. Aku mencium bau parfum wanita dari aroma badannya, selain bau keringatnya yang seperti buruh kasar. Kulihat sesuatu dalam saku bajunya yang tipis. Kurogoh dan kutemukan tisu bekas untuk menyeka meringat dan menyeka bibir berlipstik merah muda. Di bawah bekas bekas lipstik bergambar bibir itu tertulis sebuah nama, seperti ditulis dengan lipstik: LUSITA.
Di luar, petir menyambar disertai kilat yang tak henti-hentinya. Hujan mulai turun.

Kotakapur, akhir Mei 2001.



Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda