2.20.2008

Reportoar di Sesudut Rawamangun

Jakarta. Ya. Lagi-lagi harus ke Jakarta. Tapi seperti biasa, kepergian untuk yang kesekian kalinya ini hanya untuk 'tugas kenegaraan'. Kalau ke Jakarta atas hasrat, mungkin belum tahu kapan dan keluarga kecil kami akan ke metropolitan itu. Walaupun demikian, kata syukur perlu terucap. Setidaknya, diri ini masih diberi kepercayaan menunaikan tugas suci: sebuah amanah.

Sebuah amanah. Sepertinya kata itu begitu agung untuk diucapkan. Begitu kokoh untuk ditembus. Siapapun tak akan sanggup menolak, apalagi menghindarinya. Hingga karena amanah itulah istri dan anak yang sedang lucu-lucunya harus ditinggalkan. Tapi mau bagaimana lagi. Apapun harus dikorbankan demi amanah. Apalagi amanah dari negara (maafkan pandamu ya, nak).

Menjelang keberangkatan di dermaga rindu, banyak rasa berkecamuk: rindu dengan istri dan anak tercinta, rindu dengan keriuhsunyian suasana pelatihan; mengharu biru, walau terkadang membosankan. Membosankan? Ya. Pelatihan yang melulu dilaksanakan di Pusat Bahasa, tidak pernah di tempat yang sekiranya bisa menghilangkan kesuntukan dan kepenatan, meskipun sejenak.

Namun, apa boleh buat, semua harus terjadi. Karena kita diciptakan sebagai pemeran yang memang tinggal menjalani lakonan atas naskahNya yang Maha Hebat itu.

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda